BUDHISME DI CINA
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Budhisme
Oleh:
Arip Nurahman (1111032100025)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A. Pendahluan
Dari
segi geografis, perkembangan aliran agama Budha di luar India memperllihatkan
pembagian wilayah yang cukup menarik. aliran Theraveda berkembang di selatan ,
ke wilayah yang sekarang di sebut dengan Srilanka, Burma, Thailand, Kamboja,
Laos, Vietnam, dan Indonesia. Sementara aliran Mahayana berkembang Ke utara
memasuki wilayah-wilayah Nepal, Tibet, Mongolia, Cina, Korea, dan menyebar ke
Jepang, juga Indonesia.Dalam makalah ini akan diuraikan perkembangan Agama
Budha di Cina.
Tidak
diketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke Cina, namun pendapat yang
umumnya diterima ialah Buddhisme pertama kali dibawa ke Cina dari India oleh
para misionaris dan pedagang di sepanjang Jalan Sutra yang menghubungkan Cina
dengan Eropa pada akhir Dinasti Han (202 SM - 220 M). Agama Buddha mulai
berkembang di Cina sekitar abad ke-2 s.M melalui Asia Tengah serta mulai
berpengaruh pada masa pemerintahan kaisar Ming (58-75 M).[1]
B. Pembahasan
1. Sejarah Cina Sebelum Masuknya Agama
Budha
Menurut
H.G.Creel, tulisan tentang Cina yang paling dini yang sampai ke tangan kita
berasal dari sebuah kota yang merupakan pusat dari raja-raja Shang sekitar
tahun 1400 SM, kota ini merupakan pusat dari suatu peradaban yang sudah cukup
besar dan maju. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gedung-gedung yang
besar, bejana perunggu yang indah kain sutra yang ditenun dengan sempurna, dan
banyak lagi yang lainnya. Walaupun bangsa yang berbudaya tinggi ini memiliki
banyak kitab, namun kebanyakan sudah lama musnah. Sehingga informasi yang dapat
kita ambil dari mereka hanyalah berupa inskripsi singkat yang tertulis pada
tulang dan batu .[2]
Rakyat
Shang yang berbudaya tinggi ini ditaklukan pada 1122 SM (sesuai dengan
penanggalan tradisional Cina) oleh sebuah suku liar yang berasal dari Cina di
bagian sebelah barat yang dipimpin oleh suatu kelompok yang dikenal dengan nama
Chou. Kebudayaan pada masa raja-raja Shang dan Chou ini mempunyai peranan
penting dalam kehidupan suku bangsa Cina di masa-masa sesudahnya.[3]
Sebelum
agama Buddha masuk di Cina, masyarakat Cina sudah memiliki kepercayaan sendiri,
yakni Kong Hu Chu yang diajarkan oleh Confusius, dan Tao yang diajarkan oleh
Lao Tzu. Agama atau kepercayaan orang Cina pada dewa-dewa, roh leluhur, sudah
ada sejak Konghucu lahir. Konghucu bukanlah pencipta dari Agama Cina, tapi
penerus dari agama tersebut. Kepercayaan dan tradisi masyarakat Cina sebelumnya
dipandang mengandung banyak tahayul yang dapat memberatkan masyarakat.
Agama
atau kepercayaan orang Cina sebelum Khonghucu lahir dapat dibedakan ke dalam
tiga bagian:
1. Kepercayaan terhadap roh halus yang
terdapat di alam raya
2. Kepercayaan terhadap roh leluhur yang
mereka pandang dapat mengatur dan menentukan jalan hidup mereke didunia.
3. Kepercayaan terhadap langit. Langit
mereka pandang sebagai tempat dewa tertinggi yang mengatur seluruh alam dan
seisinya.
Orang
Cina pada masa itu (sebelum Khonghucu lahir) selalu dipengaruhi oleh tiga unsur
kepercayaan tersebut. Kepercayaan mereka ini dapat dikatakan sebagai
kepercayaan animisme yang pada akhirnya menuju kepercayaan monoteisme.
Kepercayaan mereka ini dapat juga dikatakan sebagai dasar dari etika dan agama
orang Cina di masa yang akan datang.[4]
Pada abad pertama sebelum masehi, penduduk
China berkembang dengan pesat. Penduduk negeri ini diperkirakan sudah berjumlah
50 juta. Daerah-daerah subur di sepanjang aliran-aliran sungai menjadi tempat
pemukiman yang memberikan cukup makanan. Padi merupakan bahan pokok utama.
Tanaman baru yang berasal dari Champa (Vietnam) yang berkembang pada abad 11
seperti gandum, ubi jalar yang dapat tumbuh pada tanah-tanah yang sempit, ikut
mendorong pertumbuhan jumlah penduduk. Pada sekitar tahun 1200, jumlah penduduk
China diperkirakan berjumlah 100 juta, jumlah tersebut menurun menjadi sekitar
65 juta pada tahun 1368 yakni pada tahun berakhirnya dinasti Mongol. Sejak itu
jumlah penduduk mengalami peningkatan. Namun, laju pertumbuhan penduduk tidak
terlalu pesat karena mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh bencana alam
(banjir, penyakit), peperangan, dan kerusuhan sosial.
Penduduk China terdiri dari suku-suku bangsa
dengan bahasa yang berlainan. Suku yang utama adalah Bangsa Han, yang
mengembangkan dasar-dasar kebudayaan dan politik sejak dinasti Han (202-220
SM). Para ahli bahasa menggolongkan bahasa China dalam keluarga Sino-Tibet.
Dialek-dialek yang merupakan bagian dari bahasa China beberapa diantaranya
adalah dialek Wu atau Soochow, didapati di sekitar sungai Yangtze dan Shanghai,
dialek Min diwakili oleh Amoy (Fukien selatan) dan Swatow (Kwantung dan pulau
Hainan), dialek Hakka Yueh (Kanton), serta suku-suku minoritas di selatan dan
barat yang berdarah campuran Turki dan Mongol. Karena pertumbuhan penduduk
yang semakin meningkat, kesulitan bahasa telah melahirkan bahasa Mandarin
sebagai bahasa nasional pada abad ke-20 ini.
2. Sejarah Masuknya Agama
Budha di Cina
Secara
tradisi dikatakan bahwa penyebaran Agama Budha dari India ke Tionghoa (Cina)
dan terjemahan kitab suci yang pertama kali dari bahasa Sansakerta ke dalam
bahasa Mandarin terjadi selama kerajaan ‘kaisar Pertama’ atau The First
Emperor (Shih Huang –Ti; tahun 246-210 S.M.), dari Dinasti Ch’in yang
berlangsung singkat. Menurut sejarah ini, 18 orang bijak yang membawa kitab
suci Agama Budha dari India ke Cina, dimana Agama Budha sudah diterima oleh
orang-orang Tionghoa (Chinese).[5]
Menurut
pendapat yang umumnya diterima ialah Agama Buddha mulai
berpengaruh di Negeri Cina Pada pertengahan Abad
pertama, pada kekuasaan Dinasti Han dibawah pemerintahan Kaisar Ming Ti
(58-76). Menurut ceritanya, pada
tahun ketiga dari pemerintahannya, Kaisar Ming Ti bermimpi melihat suatu benda
terbuat dari emas yang terbang melayang di atas istananya. Kepala benda itu
bersinar seperti matahari dan bulan. Menurut tafsiran menterinya hal itu
menunjukkan akan kelahiran makhluk ilahi (Buddha) di sebelah barat Cina. kaisar
Ming Ti segera mengutus 18 orang ke India. Hasil perutusan itu ialah bahwa ada
dua orang Bhiksu datang ke Cina, yang kemudian banyak menterjemahkan banyak
kitab Budhis.[6]
Kedua Bhiksu itu adalah Kashyapamatangadan Mdian Dharma Raksha. Bhiksu-bhiksu ini
menterjamahkan sejumlah naskah Budist,
termasuk sutra 42 Bab’ (Ssu-shih-erh-chang-ching), di satu Vihara di
Loyang, kemudian menjadi ibukota Han sebagai yang pertama kali. Menurut tradisi, Sutra 42 bab itu adalah
hasil karya terjemahan bersama-sama oleh Kashyapamatanga dan MdianDharmaraksha.
3.
PerkembanganAgama Buddha di Cina
Ketika Kaisar Ming Ti (58-76 M)
mengirimkan utusan ke India untuk
meneliti agama Budha. Perkembangan awal agama tersebut di Cina kurang
memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena mendapat perlawanan dan
tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli Cina yang telah berkembang sebelumnya,
seperti yang telah diajarkan oleh Konfsius, selain ajaran dan filsafat buddha
dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangat bertentangan dengan
alam pikiran Cina yang praktis dan materialistis. Perkembangan yang cukup pesat
mulai terjadi setelah abad kedua Masehi, yang antara lain karena jatuhnya
Dinasti Han yang diikuti dengan merosotnya faham Konfusianisme dan Taoisme
sehingga mengakibatkan Cina menghadapi periode kegelisahan budaya. Tradisi dan
struktur sosial yang ada mulai melemah, sementara alternatif baru belum muncul.
Dalam tradisi budaya seperti itulah budha mahayana muncul dan dipandang mampu
memenuhi kebutuhan yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan
yang berbeda dari tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya di satu pihak, dan
dilain pihak kepercayaan dan tradisi
asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas Agama Budha yang
merakyat di Cina.[7]
Kebanyakan
kitab suci Agama Budha dari India yang sampai ke China melalui perjalanan darat
yang dikenal dengan Silk Road atau Jalan Sutra, walaupun sebagiannya dikirimkan
dari India dan Srilanka melalui laut, sutra-sutra agama Budha itu kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.[8]
Pada
tahun 147 M seorang muni (Rahib) dari Asia Tengah bernama Lokaraksha
telah menetap di Loyang, ibukota han masa itu. Pada abad ke-2 sampai ke-4 M
mengalir sekian banyak rahib dari India ke Tiongkok dangiat menyalin sutras ke
dalam bahasa Tionghoa. Diantaranya terkenal Kumarajiva (344-413).
Pada
tahun 399 M seorang rahib Tionghoa bernama Hsien bersama rombongannya terdiri
atas 10 orang melawat ke India melalui jalan darat untuk mempelajari agama
Budha pada pusatnya. Empat belas tahun kemudian, yakni pada tahun 413 M, ia pun
pulang melalui jalan laut dengan singgah di Sriwijaya (Sumatera) dan di Taruma
Negara (Jawa Barat), dan tiba kembali di Nanking. Ia giat menyalin berbagai
sutras. Catatannya pada negeri-negeri Budha (Record of Buddhist Countries)
amat terkenal sampai kini.
Dalam
masa dua setengah abad sepeninggalnya banyak lagi pelawat, terdiri dari
rahib-rahib Tionghoa, berangkat ke India. Tetapi catatan perlawatan mereka itu
lenyap kecuali petikan-petikan singkat
dijumpai pada berbagai naskah tua. Menjelang penghujung abad ke-7 M,
seorang rahib Tionghoa bernama Hsuan-Tsang (I-Tsing) melakukan perlawatan lagi
ke India dan catatan perlawatannya pada berbagai wilayah barat itu (Record
of Western Regions) merupakan salah satu sumber sejarah sampai kini. Ia
mengeluh menyaksikan agama yang di cintainya itu telah kehilangan pengaruh pada
anak benua India.[9]
Pada
periode awal perkembangan Agama Budha di Cina itu banyak didirikan
wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah kedalam bahasa Cina.
Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang telah
mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Buddha kedalam bahasa Cina.
Akan tetapi masa keemasan agama Budha di Cina terjadi antara abad ke-7 M Hingga
abad ke-9 M dibawah kekuasaan Dinasti Tang. Pada masa ini, kontak antara Cina
dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi juga menyangkut
bidang-bidang yang lain. Dinasti Tang memiliki ciri keterbukaan kuat
terhadap pengaruh asing dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India. Namun,
pengaruh asing kembali dianggap negative pada masa akhir Dinasti Tang. Pada
tahun 845, Kaisar Tang Wu Tsung melarang semua agama asing untuk lebih
mendukung Taoisme yang merupakan ajaran pribumi. Maka dengan ini, berakhirlah
kejayaan kebudayaan dan kekuasaan intelektual Buddha.[10]
Pada
Masa Dinasti Tang, agama Buddha diadaptasikan dan dikombinasikan dengan
kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai karya seni yang bercorak
keagamaan. Masa keemasan ini juga ditandai dengan banyaknya para ilmuwan Cina
yang melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah agama ke
berbagai negeri termasuk Nusantara, menterjemahkan kitab-kitab sutra dan
memperkaya dengan ide-ide keagamaan yang ganjil dan menakjubkan. Diantara para
ilmuwan itu adalah fa Hien, Hi Nen Tsang dan I’Tsing.
Namun
kemajuan agama Budha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali
Konfusianisme yang bersifat
sosial-elitis sehingga sering berbenturan dengan ajaran Budha yang menekankan
pada kehidupan sejati melalui hidup membiara sebagai Bhikkhu. Pertentangan
tersebut merembet pula pada tradisi Cina yang menekankan pada kehidupan
keluarga di satu pihak, dengan ajaran Buddha untuk hidup selibat dan membiara
di lain pihak yang secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktivitas
keluarga dan masyarakat. Namun sejauh itu agama Budha tetap mampu
mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan tersebut sehingga memperoleh tempat
sejajar dengan Konfusianisme dan Taoisme. Bahkan ketiga-tiganya membentuk
landasan filsafat dan agama di Cina yang dikenal sebagai SamKauw atau
Tri dharma yang berarti tiga ajaran.[11]
4.
Tokoh-tokoh
dan Penerjemahan Kitab Suci Agama Buddha di Cina
Diantara tokoh-tokoh Budha di Cina
adalah:
1. Kumarajiva (Ci-mo-lo-shi)
Kumarajiva berasal dari kashmir. Tinggal di Cina mulai awal
abad ke-5 M dan memimpin lembaga yang bertugas menterjemah kitab suci agama
Buddha ke dalam bahasa Cina. Terjemahannya meliputi 300 jilid buku. Upaya
kumarjiva menerjemahkan memperoleh kondisi-kondisi yang mendukung yang tidak
dimiliki para pendahulunya. Terjemahan Kumarjiva tersebut sangat didukung oleh
pemerintah pada saat itu dan di bantu oleh sejumlah besar cendekiawan yang
berpendidikan dan berkebudayaan tinggi, yang muncul karena pengaruh Y.A. Dao
An. Namun pencapaiannya yang luar biasa tersebut sebagian besar karena
pengetahuannya yang sangat luas dan dalam, dan juga usahanya yang gigih. Guru
besar ini memiliki kebijaksanaan yang sangat tinggi. Dia adalah orang yang
dihargai dan dimuliakan baik oleh orang Cina maupun oleh orang India. Karya
terjemahannya sangat mempengaruhi bidang filsafat, pemikiran, dan literatur
Cina. Dibawah petunjuk dan kepemimpinannya, ada ribuan orang yang memiliki
kemampuan terlatih. Hal ini memungkinkan agama Budha pada masa itu maju dan
berkembang dengan pesat. Kumarajiva meninggal pada tahun 413 M.
2.
Paramartha
(Po-lo-mo-tho)
Paramatha berasal dari Ujjain dan dikirim ke Cina oleh raja
Magadha, tahun 548 M tiba di Nanking. dia menerjemahkan Mahayana Samparigraha
dari Asanga dan komentar-komentar dari vasubhandu pada tahun 563 M. Pada tahun
564 M, ia menerjemahkan Tarka-Sastra dari Vasubhandu. Antara tahun 566-567 M,
dia menerjemahkan kembali Tarka-Sastra. Selain seorang penerjemah yang hebat,
dia juga seorang guru besar logika Budhis yang hebat. Dia adalah penerjemah
yang besar yang telah memberikan konstribusi yang paling penting setelah
kumarajiva dan sebelum Xuan Zhung.[12]Paramatha
meniggal dalam usia 71 tahun pada tahun 568 M. Meninggalkan karya terjemahan sebanyak
70 judul kitab agama Buddha.
3. Xuan
Zhuang
Apa yang diterjemahkan dan disebarkan oleh Xuan Zhuang
berdasarkan pada ajaran Dharmapala sebagai patokan murid-muridnya menganggap
ide Paramartha dan pandangan dari guru-guru besar Dasabhumi-sastra-sastra sebagai
pemikiran kolot atau terjemahan versi lama. Dan mereka menganggap apa yang
diterjemahkan da disebarkan oleh Xuan zhuang sebagai terjemahan versi baru.[13]
4.
Budhabhadra menerjemahkan Matamasaka-Sutra
antara tahun 418-421 M.
5.
Dharmaksema menerjemahkan Mahaparanirvana-sutra
pada Tahun 421 M
6.
Gunabhadra menerjemahkan Lankavatara-sutra pada
tahun 443 M.
7.
Bodhiruci menerjemahkan sutra-sutra dan
komentar-komentar sekte Yogacara Mahayana (sistem dari Asanga dan Vasubhandu)
Penyebaran Agama Budha di Cina tidak
dapat dipisahkan dari peranan penerjemahan yang paling awal, seperti yang
disebutkan diatas berlangsung pada
kaisar Ming Ti dilakukan oleh Kasyapamatanga dan Zhu Fa Lan yang mulai
menerjemahkan sutra 42 Bagian. Konon mereka juga menerjemahkan beberapa sutra
lainnya. Semua ini merupakan penerjemahan yang paling awal.
Selama masa akhir Dinasti Han
penerjemah yang paling terkenal adalah diantaranya:
a. An
Zhi Gau dari An Xi (sekarang di wilayah Iran)
b. Lokaksema
dari Re Zi, Kang Seng Hue, dan Kang Seng Kai dari Kang Ju (sekarang di Siberia
di Rusia)
c. Seorang Biksu Cina berdarah Da Re Zi,
Zhu Fa Hu yang merupakan salah satu misionaris terawal yang pergi ke India
untuk mencari Dharma. Karena usaha mereka, banyak kitab suci baik dari aliran
Srawaka maupun Mahayana diterjemahkan kedalam bahasa Mandarin.
Perbedaan
antara kitab-kitab yang diterjemahkan oleh para penerjemah diatas adalah ada
dua sistem utama diantara mereka. Satu sistem termasuk kedalam aliran Theravada
yang memiliki ajaran sutra Agama dan doktrin meditasi sebagai subjek utama,
yang dapat diwakilkan oleh An Shi Gao. Yang lain tergolong kedalam aliran
Mahayana, yaitu berdasarkan Sitra Prajna dan Konsep Tanah Suci, yang dapat
diwakilkan oleh Lokaksema. Kedua sistem ini terus berkembang secara bersamaan.[14]
Setelah
akhir masa Dinasti Tang, agama Budha lambat laun mengalami kemunduran. Situasi
demikian terus berlanjut sampai Dinasti Qing. Namun semenjak Dinasti Qing,
agama Budha mulai diperbaharui kembali. Banyak orang berbakat yang muncul,
diantara tokoh-tokoh yang terkenal dari agama Budha modern tersebut adalah Yeng
Ren Shan (1837-1911). Dengan tujuan melatih personil Budhis dan memperluas
sirkulasi buku-buku Budhis sehingga dapat mempermudah penelitian Budhis, dia
menghabiskan beberapa dekade untuk memberikan eramah dan mengembangkan
publikasi Budhis. Dari Jepang, dia memboyong banyak hasil karya penting sekte
Madhyamika dan Yogacara yang telah hilang di Cina. Dia juga yang berperan dalam
percetakan penerbitan hasil karya tersebut di Jing Ling Ke Jing Zu (Biro Percetakan
Kitab Suci Budhis Jing Ling).
5.
Perkembangan Agama Buddha Saat ini di Cina
Pada
tahun 1954, saat berlangsungnya Konferensi Tenaga Penerjemah Literatur Cina,
Ketua Masyarakat Penulis, Mr. Mao Duen, berkata dalam pidatonya: proses
penerjemahan di negara kita merupakan suatu sejarah yang panjang dan tradisi
yang patut di banggakan. Metode-metode yang teliti dan ilmiah dalam
menerjemahkan kitab-kitab suci Budhis dan prestasinya yang luar biasa patut
kita banggakan. Semua ini pantas dijadikan sebagai teladan.”[15]
Sampai
saat ini agama Buddha masih merupakan agama utama bagi orang Cina. Pada bulan
April 2006 Cina mengorganisir Forum Buddhis Dunia, sebuah event yang diadakan
setiap dua tahun sekali. Pada Maret 2007 pemerintah Cina melarang aktivitas
penambangan di gunung-gunung suci bagi umat Buddha. Pada tahun yang sama, di
Changzhou, pagoda tertinggi di dunia dibangun dan dibuka untuk umum. Pada Maret
2008, organisasi Buddha Tzu Chi (Taiwan) diizinkan membuka cabangnya di Cina
daratan. Hal-hal ini semakin menunjukkan dukungan pemerintah Cina yang komunis
dan sekuler terhadap perkembangan agama Buddha Mahayana sebagai agama
tradisional dan mayoritas di sana. Sedangkan agama Buddha Theravada dan Tibetan
tetap dipraktikkan oleh etnis minoritas di sebelah barat daya dan utara Cina.
Meskipun pergeseran China untuk ateisme setelah Komunis menguasai Cina pada tahun 1949, Buddha terus tumbuh di Cina, terutama setelah reformasi ekonomi pada tahun 1980an. Saat ini ada diperkirakan pengikut agama Buddha
di Cina dan lebih dari 20.000 kuil Buddha. Ini adalah agama terbesar di Cina.[16]
6.
Buddhisme sebagai Agama Negara
Popularitas Buddhisme, menyebabkan konversi cepat untuk Buddhisme
kemudian oleh penguasa Cina. Dengan diterjemahkannya salinan kitab-kitab suci
ke dalam bahasa Cina, pemikiran dari berbagai aliran Budhis di India masuk
kedalam kebudayaan bangsa Cina. Selama periode yang panjang menyangkut
p[enyerapan dan penerimaannya, agama Budha di Cina mengalami perkembangan yang
kreatif. Masa dinasti Sui dan Tang dari akhir abad ke-6 M sampai ke pertengahan
abad ke-9 M merupakan masa puncak agama Budha di Cina. Dalam periode ini
berkembang pemikiran-pemikiran baru, sebagai akibatnya munul berbagai aliran.
Hal ini merupakan suatu hal yang luar biasa, bagaikan ratusan bunga bermekaran.
Sui dan Dinasti Tang berikutnya semua diadopsi Buddha sebagai agama mereka.
Agama ini juga digunakan oleh penguasa asing dari Cina, seperti
Dinasti Yuan dan Manchu, untuk menghubungkan dengan Cina dan membenarkan
kekuasaan mereka. Para Machus diupayakan untuk menarik paralel antara agama
Buddha. agama asing, dan pemerintahan mereka sendiri sebagai pemimpin asing.
Meskipun pergeseran China untuk ateisme setelah Komunis menguasai
Cina pada tahun 1949, Buddha terus tumbuh di Cina, terutama setelah reformasi
ekonomi pada tahun 1980an.
C. Penutup
Sebelum
agama Budha masuk ke Cina, penduduk Cina sudah mempercayai kepercayaan pada
arwah leluhur, pemujaan pada alam, dan pemujaan pada langit. Orang Cina pada
masa itu (sebelum Khonghucu lahir) selalu dipengaruhi oleh tiga unsur
kepercayaan tersebut. Kepercayaan mereka ini dapat dikatakan sebagai
kepercayaan animisme yang pada akhirnya menuju kepercayaan monoteisme.
Kepercayaan mereka ini dapat juga dikatakan sebagai dasar dari etika dan agama
orang Cina di masa yang akan datang.
Agama Buddha muncul di China kira-kira pada abad
pertama Masehi dari Asia Tengah sampai dengan abad ke-8 ketika Negara ini
menjadi pusat agama Buddha yang penting. Agama Buddha tumbuh pesat selama awal
Dinasti Tang (618-907). Dinasti ini memiliki ciri keterbukaan kuat terhadap
pengaruh asing dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India. Namun, pengaruh
asing kembali dianggap negative pada masa akhir Dinasti Tang. Pada tahun 845,
Kaisar Tang Wu Tsung melarang semua agama asing untuk lebih mendukung Taoisme yang
merupakan ajaran pribumi. Maka dengan ini, berakhirlah kejayaan kebudayaan dan
kekuasaan intelektual Buddha.
Dalam filsafat Buddha. Ada orang-orang yang mengikuti Buddhisme
Theravada tradisional, yang melibatkan meditasi yang ketat dan membaca lebih dekat
dari ajaran asli Sang Buddha. Buddhisme Theravada menonjol di Sri Lanka dan
sebagian besar Asia Tenggara.
Agama Buddha yang memegang di Cina adalah Mahayana Buddhisme, yang
mencakup berbagai bentuk seperti Buddhisme Zen, Pure Tanah Buddhisme dan Buddhisme
Tibet - juga dikenal sebagai Lamaism.[17]
Meskipun pergeseran
China untuk ateisme setelah Komunis menguasai Cina pada tahun 1949, Buddha
terus tumbuh di Cina, terutama setelah reformasi ekonomi pada tahun 1980an. Saat
ini ada diperkirakan pengikut agama Buddha di Cina dan lebih dari 20.000 kuil
Buddha. Ini adalah agama terbesar di Cina.[18]
D. Daftar Pustaka
1.
Ali, Mukti (pengantar). Agama-Agama Dunia. Yogyakarta:IAIN Sunan
kalijaga Press. 1988.
2.
Cu, Zhao Pu ,
Tanya Jawab Mengenai Agama Budha, (Srilanka:karaniya) 2007.
3.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan
Budha. Jakarta: PT.BPK. Gunung Mulia.1987.
4.
http://budhisme10.blogspot.com/2012/05/peradaban-agama-buddha-di-india-dan-di.html.Diakses pada tanggal 4 April 2013.
5.
http://budhismefaiviel.blogspot.com/2012/06/agama-buddha-di-china.html.
Diakses pada tanggal 4 April 2013.
6.
http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/agama-buddha-di-china.html.
Diakses pada tanggal 4 April 2013.
7.
Sou’yb, Joesoef,
Agama-Agama Besar di Dunia,(Jakarta:Al-Hasna Zikra), 1996
8.
Suwarto
T. Budha Dharma Mahayana. Jakarta:
majelis Agama Budha mahayana Indonesia. 1995.
9.
Tanggok,
M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di Indonesia”. (Jakarta:
Pelita Kebajikan), 2005.
[2]Dr. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di
Indonesia”. (Jakarta: Pelita Kebajikan. 2005).h. 1-2
[3]Ibid, h. 2-3
[4]Dr. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu di
Indonesia”. (Jakarta: Pelita Kebajikan. 2005).h. 11.
[5]. Drs. Suwarto T, Budha Dharma Mahayana, (Jakarta: majelis Agama
Budha mahayana Indonesia, 1995). h.463.
[7].Mukti Ali (pengantar), Agama-Agama Dunia. (Yodyakarta:IAIN
Sunan kalijaga Press 1988). h.138.
[8]. Drs. Suwarto T, Budha Dharma Mahayana,( Jakarta: majelis Agama
Budha mahayana Indonesia 1995). h.463.
[10]http://belajarbuddha.blogspot.com/2012/05/agama-buddha-di-china.htm
[11]. Mukti Ali (pengantar), Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta:IAIN
Sunan kalijaga Press 1988) h.138-139.
[12]Mr. Zhao Pu Cu, Tanya Jawab Mengenai Agama Budha, (Srilanka:karaniya.
2007), h.166-167
[13] Ibid, h.169
[14]Mr. Zhao Pu Cu, Tanya Jawab Mengenai Agama Budha, (Srilanka:karaniya.
2007), h.159-160.
[15]Mr. Zhao Pu Cu, Tanya Jawab Mengenai Agama Budha, (Srilanka:karaniya.
2007), h. 174-175.
[16]http://budhismefaiviel.blogspot.com/2012/06/agama-buddha-di-china.html.
[18]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar