Pengertian Nibbana
Di susun untuk memenuhi
Mata kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh
Di susun oleh :
Ahmad Syafiq
( 1111032100007 )
FAKULTAS USHULUDDIN
PERBANDINGAN AGAMA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
Pengertian Nibbana
Nibbana adalah
kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa.
Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan
memadamkannya.
Nibbana adalah tujuan
akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk
mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang
bukan Nibbana.
Nibbana bukanlah
ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan berceramah selama 45
tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian
aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbana dengan
alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk
menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana
berarti jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik
adanya dan semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang
menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan
oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga
seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha mengetahui bahwa
surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara keterbatasan
akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbana tertuju
lebih dari surga.
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu?
Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di manakah Nibbana itu. Nibbana
ada sama seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun
untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu bersamaan, maka
gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul. Demikian
juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda,
maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum
mengalami keadaan tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat
berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya
sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori,
teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan bahwa Nibbana adalah
keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan
dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya:
terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan,
demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan
pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang dipukul dalam
samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti
ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada
di mana-mana saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega
sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit.
Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega
sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan nafsu indrawi hanya membawa
kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru memperpanjang perjalanan samsara
adalah Nibbana. Nibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan
semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan,
dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan
dengan kesenagan sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan
nafsu indrawi.
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu;
lebih baik untuk mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan
untuk Nibbana, bagaimana mencapai keheningan dan kebeningan pandangan
yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya.
Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian
(dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua
nafsu dan sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral
yang benar dan secara konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan
diri sendiri dari semua keakuan dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan
direalisasikan dan dialami.
Nibbana dan samsara
pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara
dan Nibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami
oleh orang lai. Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana
itu sama saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal
terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka
pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima gugus,
empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin; sedangkan Nibbana
digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat
mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian,
hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana
bahwa Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin
bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.
Nibbana dapat dicapai
dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan
akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbana
direlisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa
Nibbana. Saat seorang Araha
merealisai Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan fisik,
hal ini disebut Anupadisesa Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian.
Jika ada kelekatan terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan
terhadap seseorang atau sesuatu, kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana
karena Nibbana melampaui semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak
suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya
hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek
nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua
yang hidup dan yang tak hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa
usaha kita sendiri dengan cara yang
benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak
ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup
akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan,
beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah
merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah ketidaan, semata-mata karena orang tidak mampu
merasakannya dengan panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa
cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya. [1]
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir
proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun
neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun
Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran
kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan
kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
Nibbana mengatasi
hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being. Di dalam
Sutta-sutta seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan
lain-lain, nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam agama Buddha
Mahayana, yang mutlak adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan
dalam ajaran Nagaryuna. Namun demikian, semua aliran agama Buddha memandang
yang mutlak sebagai tujuan yang terakhir, yaitu nibbana.
Dari paparan di
atas tampak bahwa kosepsi ketuhanan dalam aliran Theravada tidak dapat
digolongkan ke dalam konsep teisme yang memahami Tuhan sebagai pribadi,
melainkan termasuk konsep yang non teis dan sangat berbeda dengan konsep agama
lain. Aliran tersebut mengakui adanya Tuhan, namun, seperti ajaran asli Buddha,
Tuhan tidak harus dipandang sebagai suatu pribadi yang selalu berhubungan
dengan alam semesta dan lainnya beserta isinya.[2]
Tujuan akhir umat Buddha adalah Nibbana. Banyak buku yang
mengujikan uraian tentang Nibbana telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga
kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi
harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah
merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang dapat mengetahui dan
menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti diajarkan oleh Sang
Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi
padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya keinginan,
ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian,
Nibbana adalah Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak
termusnah (na vayo-pannayati), ada dan tidak berubah
(nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut Asankhata-Dhamma (keadaan
tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini sulit untuk
dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal jika keadaan
terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari
dukkha berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk
melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran
orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi, karena refleksi-refleksi tidak
mempunyai nialai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi “aku”
yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan “aku” telah
terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang
dimaksud dengan “Nibbana peranan sukkham” (Nibbana Kebahagiaan Tertinggi),
bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosional, melainkan pembebasan
mutlak dari segala bentuk ikatan indera dan keiginan rendah (tanha).
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah
berakhirnya proses “menjadi” (dumadi) Dalam Milinda Panha (kitab yang berisi
percakapan antara Bhikku Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
“Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang
siapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat
kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui
kebijaksanaan (panna), sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti
petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya
sendiri”.
“Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu
dapat diketahui melalui pembebasan dari ketenangan dan bahaya, melalui
kedamaian, ketengan, kebahagiaan dan kesucian”.
“sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian
yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui ushanya yang keras, ia dapat
menyelamatkan dirinya dari mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan
kebahagiaan yang luhur, begitupula halnya dengan orang yang hidup dengan benar.
Orang demikian, melalui refleksi sungguh-sungguh menyelami kebahagiaan
tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang membakar dari tiga api (api
keserakahan, api kebencian, api kebodohan bathin) dipadamkan seluruhnya. Tungku
perapian menggambarkan tiga api di atas, orang yang sedang terbakar di dalamnya
dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya yang menempuh kehidupan dengan
benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan arti Nibbana”.
“Apakah Nibbana itu suatu tempat?” tanya Raja Milinda. “Nibbana
bukanlah suatu tempat, O Raja, tapi nibana itu ada, sebagi mana nyala api, itu
ada meskipun api itu tidak disimpan di
suatu tempat tertentu”
“Apakah tiadak tempat berpijak lagi seseorang untuk mencapai
Nibbana ?”
“Ya, O Raja, ada tempat seperti itu, tempat itu adalah kebajikan.”
Mereka yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terhadap
kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah
umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun Kamma baru, melainkan sekedar
menghabiskan Kamma lampaunya.
Sang Buddha pernah ditanya
apakah seorang Buddha, seseudah mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang
Buddah diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermamfaat
bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai
kesalah pahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham “aku”
masih melekat, mustahil Nibbana dapat tercapai
a)
Dalam
Abhidhammatthasangaha, berbunyi sebagai berikut :
“VANA
SANKHATAYA TANHAYA NIKKHANTATTA NIBBANAM”
Artinya
:
Keadaan
yang terbebas dari tanha(keinginan rendah), disebut Nibbana.
b)
Dalam
Paramatthadipanitika, berbunyi sebagai berikut :
“NATTHI
VANAM ETTHANI NIBBANAM”
Artinya:
Keadaan
ketenangan yang timbul dengan terbelahnya dari Tanha ( keinginan rendah),
disebut Nibbana.
c)
“TAYIDAM
SANTI LAKKHANAM”
Artinya
:
Nibbana
adalah kebahgiaan yang terbebas dari kilesa (kekotoran bathin)
“NIBBANAM
PARAMAM SUKHAM”
Artinya:
Nibbana adalah
kebahagiaan tertinggi.[3]
Anda seharusnya dapat menjawab dengan benar pertanyaan “Apakah
kedamaian itu?”…
Jika Anda bertanya pada anak kecil dan orang dewasa apakah
kedamaian itu, jawaban mereka akan sangat berbeda. Jika Anda bertanya pada
majikan dan pegawai, apakah kedamaian itu, Anda akan mendapatkan jawaban yang
tidak akan pernah cocok. Kedamaian sulit dipahami. Kedamaian tubuh adalah
kedamaian materi saja; kedamaian batin adalah kedamaian mental saja. Yang
benar, seharusnya kebenaran keduanya… (Buddhisme
on Economics p.16)
Nibbana seharusnya direnungkan sebagai sesuatu yang telah
disediakan oleh Alam untuk manusia pada tingkat tertinggi. Kita seharusnya
memahami ini sehingga nibbana dan hidup kita tidak berlawanan. (Nibbana
for Everyone > Evolution/Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 12)
Kata nibbana berarti “membuat menjadi tenang”…
Ketenangan hati dan kedamaian batin yang diharapkan setiap orang
adalah arti dari nibbana.
Menurut Buddha, nibbana adalah akhir dari nafsu, akhir dari
kebencian, dan akhir dari khayalan, yang merupakan pemadaman akhir semua api
dan ketenangan “paling tenang” yang ada dalam hidup. (No Religion p. 33/
Nibbana for Everyone > Evolution/ Liberation Journal: Magha Puja Season 1991
p. 11, 12)
Kapan saja Anda mengalami ketenangan, catat ketenangan itu dengan
sungguh-sungguh di dalam hati Anda, serta tarik nafas dan keluar nafas. Menarik
nafas adalah ketenangan, mengeluarkan nafas adalah ketenangan, di dalam tenang,
diluar tenang. Lakukan ini sejenak… Inilah jalan terbaik untuk membantu batin
kembali pada Sifat Dasar.
…Marilah kita hidup dalam kehidupan pemadaman total, sebuah
kehidupan yang menyiram api nafsu keinginan, sebuah kehidupan yang tenang. Saat
kita terbakar nafsu, kita mati. Seseorang yang panas di dalam batin seperti
iblis di neraka… (Nibbana for Everyone p. 10, 14/ No Religion p.33)
Nibbana adalah
kematian Ego sebelum tubuh mati.
Kapan saja kita bertikai karen pendapat, penghargaan, kesombongan,
atau sikap keras kepala, hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan
hubungan dengan nibbana. (The Dawning of Truths: Difficult for Anyone to
Belive no. 8/ No Religion p. 35)
Sifat tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran, akan ada
kebahagiaan sejati.
Hal ini mungkin terdengar menggelikan bagi Anda, tetapi lenyapnya
gangguan adalah kebahagiaan sesungguhnya. (Happiness and Hunger p. 15)
Kehidupan bertahan oleh munculnya secara alami “nibbana-nibbana sementara”;
jika tidak, kita semua menjadi penderita gangguan jiwa atau mati dengan segera.
Kita memiliki nibbana sebagai sebuah kebutuhan untuk
menopang kehidupan pada semua tingkatan… tetapi kita tidak melihatnya. Jika
kita tidak memiliki satu periode di mana pikiran terbebas dari kotoran batin
untuk sementara (nibbana sementara), kita akan menjadi penderita
gangguan jiwa atau gila dan telah mati sejak lama dahulu.
jadi kita hendaknya tidak berpikir bahwa kita hrus mengganggu
selama puluhan atau ratusan ribu tahun sebelum kita dapat mencapai nibbana,
yang sebenarnya telah menopang kehidupan kita setiap saat.
Seseorang hendaknya mengatur kehidupan sehari-hari sehingga
hidupnya terisi oleh nibbana-ketenangan yang damai. (The Dawing of
Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 43/ A Buddhis Charter p.35/ The
Dawning of Truth: Difficult for Anyone to Believe no. 62)
Nibbana tidak memiliki
hubungan apa pun dengan kematian
Kebanyakan orang menunggu untuk mendapat kenikmatan nibbana
setelah mati, meskipun mereka semstinya mendapatkannya di sini dan di saat ini.
Nibbana dapat
ditemukan pada lingkaran kehidupan bukan sebagai tujuan luar seperti yang
sering dipikirkan.
Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha
ada pada dukkha sendiri… (the Dawning of Truths: Difficult for Anyone to
Belive no. 3, 63/ A Buddhist Charter p. 35)
“Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam
pelepasan, bhikkhu terdapat di dalam kebenaran, nibbana terdapat
pada keadaan hampir mati sebelum kematian”. (Legacy We Would Leave with You no.
39)
Nibbana- ketenangan dan
kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak membutuhkan biaya
sepeser pun.
Yesus mengatakan jumlah biaya yang sama pada hal yang sama. Beliau
mengundang kita untuk meminum air kehidupan tanpa biaya. Lebih lanjut, beliau
memanggil kita untuk memasuk kedalam kehidupan abadi yang berarti mencapai
keadaan dimana kita menjadi satu dengan Tuhan, dan oleh karenanya kita tidak
mengalami kematian lagi. (no Religion p. 29)
Nibbana adalah sebuah
kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan cara apapun. Nibbana
tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun. Sebenarnya, nibbana adalah negasi dari kondisi
duniawi. Kita tidak dapat menciptakan nibbana karena nibbana
melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat menciptakan kondisi untuk
merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang menuntun
kebebasan dari kotoran batin. (Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for
Everyone p. 8)
…Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak
memiliki pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat menciptakannya karena ketiganya
memiliki setatus yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no.
59).[4]
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti
sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu, tujuan akhir umat Budha, istilah
Pali “ Nibbana” berasal dari kata ini dan vana. Ni merupakan partikel negative,
sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut Nibbana, karena terbebas
dari nafsu yang disebut vana, keinginan”. Secara harfiah, Nibbana berarti
terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan,
kebencian dan kebodohan. Sang Buddha
bersabda: “seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa? Terbakar oleh api
keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api kelahiran, usia tua, kematian,
kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah”.
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan
karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalanya
seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak
dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor
ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga
mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan
hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata
secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma,
tidak tercipta”. Karenanya, Nibbana bersifat kekal. (dhuva), damai (santi), dan
bahagia (sukha).
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan” atau
“dimusnahkan”.
Menurut kitab-kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu
Sa-upadisesa-Nibbana dan Anupadisesa- Nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam
Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara
dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.
Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal
berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri.
Nibbana merupakan suatu percapaian (Dhamma) yang berada dalam jangkauan semua
orang. Nibbana merupakan sauatu keadaan di atas keduniawian (lokuttara) yang
dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan
bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalm kehidupan ala mini. Di sinilah
terdapat letak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep
Non- Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai kematian atau bersatu
dengan zat agung pada kehidupan setelah mati. Apabila Nibbana dicapai dalam
kehidupan sekarang ini, sewaktu hidup, itu disebut sisa kehidupan fisik, itu
disebut Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana
merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana
adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah
penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak? Sang
Budha menjawab “ Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( Khanda)
itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatkan bahwa ia
akan dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatkan bahwa ia tidak
dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan kembali juga tidak benar”.
Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan
kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal telah
dihancurkan; jika orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tidak
ada sesutu yang dimusnahkan.
“Misalnya apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap
sama, kita harus menjawab “tidak ”. apabila kita bertanya apakah elektron
berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab,” Tidak”. Bila kita
bertanya apakah elektron bergerak, kita juga harus menjawab “Tidak”.
Sang Budha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya
mengenai kondisi-kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.
JALAN KE NIBBANA
Bagaiamana caranya untuk
mencapai Nibbana? Dengan melakasanakan
delapan faktor jalan utama, yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran
benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar
(samma-kammanta), penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar
(samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agma budha, mencakup
pengetahuan tentang empat kebenaran mulia. Mengerti dengan benar berarti
memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada
pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti
tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh
ini yang panjangnya dua depan beserta kesadaranya”. Dalam melaksanakan delapan
faktor jalan utama, pengertian benar berada permulaan karena hal itu memberi
motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada
tingkat akhir melaksanakan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan
pandangan terang sempurna (vipassana panna), yang langsung membawa kepada
tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor
kedua dari jalna utama ini (samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan
pikiran-pikiran jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini,
pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Nekkhamma:
melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang
berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
Abyapada: cinta
kasih, i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian,
i’tikad jahat, atau kemarahan.
Avihmsa: tidak kejam
atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.
Pikiran benar menimbulkan ucapan benar, faktor ketiga. Ucapan benar
mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar
dan bicara yang tidak berguna.
Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar, yang meliputi
perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk-makhluk hidup, pencurian dan
perbuatan-perbuatan kelamin yang salah.
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal.
Musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupanya dengan cara menahan diri
dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu:
Memperdagangkan senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman
keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan
munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk memeperoleh kebutuhan-kebutuhan
hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha
melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan
yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha
mengembangkan kebajikan yang telah timbul.
Perhatian benar, adalah kesadaran yang terus menerus terhadap
jasmani, perasaaan-perasaan, pikiran-pikiran, serta obyek-obyek batin. Usaha
benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar, yaitu menunggalnya
pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memundak dalam Jhana.
Dari kehidupan faktor jalan utama ini, dau yang pertama
dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan (panna), tiga yang selanjutnya ke dalam
bagian moral (sila). Dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi
(sammadhi). Tetapi menurut urutan pengembangannya, rangkaian itu adalah sebagai
berikut Sila, Samadhi, Panna.
Moral (Sila) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke
Nibbana ini. Dengan tidak membunuh ata melukai makhluk-makhluk apapun, orang
akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada
makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan
menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan
menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat
manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan
berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian,
ia akan waspada dan rajin.
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang
yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana. Melanggar hal-hal tersebut berarti
menciptakan rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal
tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang
musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn mendisiplinkan
segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indra-indranya, kekuatan
kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk
melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu,
kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa: “Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan
kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga
adalah seperti udara terbuka”.
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi
Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual
seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat
juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu,
Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh
di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh
kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan
pengembangan batin (samadhi), tingkat kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan
mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.
Terdapat berbagai macam objek meditasi sesuai dengan watak masing-masing
individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk
mencapai Sammadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu
mengakibatkan kedamaian dan kebahagian batin.
Pengembangan empat keadaan batin luhur: cinta kasih (Metta), belas
kasihan (karuna), kegembiraan bersimpati (Mudita) dan keseimbangan batin
(Upekkha) amat dipuji oleh para bijaksana.
Setelah mempertimbangkan dengan hati-hati obyek-obyek meditasi, ia
harus memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat
memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk
memusatkan pikirannya sampai ia benar-benar tenggelam dan masuk ke dalamnya,
sehingga semua bentuk pikiran lainnya tida dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima
rintangan bagi kemajuan batin adalah: keinginan indara, kebencian, kemalasan
dan kelambanan, kegelishan, kekhawatiran dan keragu-raguan.
Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang
dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana, menikmati ketenangan dan kedamaian
penunggalan pikiran.
Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini,
adalah mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa
(abhinna), yaitu: mata-dewa (Dibbacakkhu), telinga-dewa (Dibbasota), ingatan
akan kelahiran-kelahiran lampau (Pubbenivasanussati-nana), membaca-pikiran
(paracitta vijanna), dan berbagai kemampuan-kemampuan batin lainnya
(iddhividha). Namun harus diingat bahwa kekuatan-kekuatan batin luar biasa ini
tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.
Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada
kecendrungan-kecendrungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan samadhi
nafsu-nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kotoran-kotoran batin itu dapat
muncul pada saat-saat yang tak terduga.
Baik Sila maupun Sammadhi amat berguna untuk membersihkan jalan
dari rintangn-rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang
memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya
mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu-nafsu oleh Sammadhi. Inilah
tingkat ketiga dan terakhir dari jalan yang menuju ke Nibbana.
Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah
kaca yang telah digosok, ia meliahat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar
tentang hidup. Kemampuan ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun
selain tiga corak umum kehidupan, yaitu: Annica ( ketidak-kekalan), Dukkha
(penderitaan), dan Anatta (tanpa pribadi kekal), yang merupakan gambar timbul
yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang
bersayarat itu tidak kekal adanya. Baik disurga ataupun di dunia ia tidak akan
mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap bentuk kesenangan hanyalah
merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal adalah
tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak
dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.
Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu
yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan pandangan
terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat-saat yang membahagiakan
tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam
hidupnya, setelah menghancrkan tiga belenggu: pandangan salah tentang aku
(sakkaya ditthi), keragu-raguan (vicikiccha), serta kepercayaan bahwa upacara
dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan (Silabbata-paramasa).
Pada tingkat kesucian ini ia disecut seorang Sotapanna (pemenang
arus), seorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena
ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan
dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat
pandangan terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua,
Sakadagami (hanya kembali sekali) dengan melemahkan dua belenggu kali, yaitu:
keinginan indra (Kamaraga) dan i’tikad jahat (patigha). Ia disebut sakadagami
karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat
kesucian terakhir, Arahat.
Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, anagami (tak pernah
kembali), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang disebutkan di atas. Setelah
itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa. Karena ia tidak
memiliki kesenangan-kesenagan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir
kembali dalam “Alam Murni” (Suddavasa), suatu alam brahma yang menyenangkan.
Sekarang dengan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi
sebelumnya, maka ia mengushakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan
sisa belenggu batin seperti, keinginan akan kelahiran kembali dalam alam-alam
bentuk (rupa raga) dan alam-alam tak berbentuk (arupa-raga), kesombongan
(mana), kegelisahan (unddhacca), kebodohan (avijja), dan menjadi seorang suci
yang sempurna (Arahat).
Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah
dikerjakan, bahkan berat penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan
telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia
sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa,
jauh dari gejolak-gejolak nafsu dan kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan
Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.[5]
DAFTAR PUSTAKA
1. Sri
Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
2. Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
3. Rampaian Dhamma, panjika
( dpp Persaudaraan Vihara
Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
4. Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa,
jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana, direvisi oleh Noel Boivin, pustaka
karaniya ke 131, cet-I,
november 2007, h- 210.
5. Http://Www.semanggi-pahala.or.id/naskah-dhamma/nibbana/.
[1]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
[2]
Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
[3]
Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[4]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar