BUDHISME ZEN dan ALIRAN-ALIRANNYA
Makalah ini
Dibuat untuk memenuhi syarat
Pada mata kuliah BUDHISME
Disusun oleh :
ERIK ERMAWAN 1111032100061
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA PA 4A
2013
A. Pengertian Zen
Zen merupakan salah satu dari
ajaran Budhisme yang berasal dari India, yang menyebar
melalaui Cina dan Korea. Banyak orang yang sulit mengartikan makna zen sesungguhnya. Zen yang
diambil dari aksara Cina berarti "menunjukkan kesederhanaan". Zen adalah
ajaran yang sangat jelas dan singkat. Ada juga yang berpendapat bahwa zen merupakan
filosofi, dan bukanlah sebuah agama.[1]
Menurut Suzuki, zen bukanlah
filosofi karena pemikiran zen bukanlah berdasarkan pada logika
dan analisis. Zen tidak pernah mengajarkan untuk berpikir
secara intelektual dan menganalisis. Pemikiran yang dihasilkan oleh seorang
ahli zen selalu diajarkan secara turun - temurun kepada
muridnya demikian juga seterusnya. Jika menyangkut bagaimana cara Zen menyebarkan
ajarannya, yaitu sama dengan yang dilakukan Sidharta. Hal ini
didukung oleh pernyataan, yang menyebutkan bahwa ajaran dari Budha sendiri
diturunkan kepada murid – muridnya secara langsung dan turun – temurun.
pengajaran Bodhidharma tentang zen adalah
perbuatan baik saja tidak cukup tetapi melalui perbuatan baik akan mendorong
kemurnian moral dimana menjadi suatu syarat yang mutlak bagi pencerahan. Zen
memiliki tiga arti yang berbeda
namun berkaitan. Chrismas humpeyrs
dalam key kit, mengatakan bahwa: Pertama, zen berarti
meditasi. Zen adalah istilah Jepang mengungkapkan Bahasa cina Chan,
yang bila ditelusuri berasal dari Bahasa Sanskerta Dhyana. Ini
adalah arti yang paling umum dari istilah tersebut. Kedua, dalam arti
khusus zen adalah
nama dari kekuatan absolut atau
realitas tinggi yang tidak dapat disebutkan dengan kata – kata. Ketiga, dalam
arti yang lebih khusus zen adalah pengalaman mistis akan
keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba – tiba dan diluar batasan.
Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau wu dalam Bahasa
Cina dan satori dalam Bahasa Jepang. Ketiga arti zen tersebut
saling berkaitan. Meditasi, arti umum adalah cara utama untuk mendapatkan
pengalaman langsung dengan realitas tertinggi, dan mungkin orang yang
melaksanakan meditasi akan mengalami pemahaman realistas kosmis ini dalam
situasi yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual.[2]
Zen adalah disiplin dalam pencerahan.
Tujuan dari pelatihan zen ini adalah membuat kita menyadari
apa sesungguhnya zen dalam pengalaman kita sehari – hari dan
apa yang tidak dapat kita peroleh dari luar. Zen adalah bentuk
Budhisme
sebagai penyebaran hati atau pikiran
Budha. Anesaki menyatakan bahwa pada awalnya meditasi
merupakan salah satu dari tiga bagaian latihan penganut Budha. Ketiga latihan
tersebut yaitu berupa latihan kebatinan, disiplin moral dan kebijaksanaan. Selain
itu jika menyangkut apa yang ada didalam zen, bahwa pengalaman
pribadi adalah segalanya dalam zen. Karena untuk mendapatkan
pengertian paling mendasar tentang sesuatu , maka harus dialami sendiri.
Pengalaman merupakan hal yang mendasar dalam Zen. Pengalaman merupakan jawaban
dari semua teka-teki kehidupan. seperti halnya dalam menjalani hidup, seseorang
akan mengerti dengan kehidupan apabila ia telah menjalaninya, dan selama
menjalani kehidupan tersebut akan begitu banyak pembelajaran yang di dapat.
Pendekatan zen terhadap
realitas tidak sering dengan pendekatan ilmiah yakni menghindarkan penalaran
logis, karena penalaran logis mengakibatkan kerangka pemikiran hidup mendua
artinya suatu pemikiran yang selalu bertentangan antara subjek dengan objek
atau berorientasi pada adanya dua prinsip kehidupan yang saling bertentangan.
Nilai
ajaran zen digunakan oleh orang Jepang sebagai konsep
pemahaman terhadap alam dan isinya, yakni tidak terlepas dari kewajaran atau
bersifat alami antara lain ; (1) kesederhanaan, (2) ketidak-sempurnaan, dan (3)
ketidak-abadian. Nilai nilai tersebut terekspresi dalam konsep dasar pemahaman
estetika wabi - sabi. Bagi orang jepang ajaran zen Budhisme
diekspresikan melalui konsep estetika wabi - sabi yang
digunakan sebagai acuan dalam berpedoman, mengatur dan juga sebagai pengendali
dalam mencipta maupun memahami suatu karya seni. Makna dari wabi -
sabi itu sendiri adalah kepasrahan (seijaku) dan ketulusan
dalam menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa ketulusan dan kepasrahan
tersebut bagi orang Jepang diekspresikan ke dalam karya seninya dengan
melukiskan situasi keadaan hening, tenang dan diam. Sehingga dapat dikatakan
Zen Buddhisme adalah sebuah aliran yang menekankan pentingnya meditasi dan
mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen yang mewakili puncak spiritualitas dalam
agama Buddha adalah berintikan tentang transimi jiwa ajaran Buddha yang
bersifat istimewa.[3]
2.
Sejarah aliran Zen
Jika kita
pelajari sejarah agama Budha dengan perhatian utama terhadap segi ini, hal yang
lain segera menarik perhatian kita adalah Agama-agama itu terpecah.[4]
Agama-agama selalu terpecah belah. Dalam tradisi kita, agama yahudi kuno
terpecah menjadi agama Israel dan agama Judah, agama Kristen terpecah menjadi
Gereja Timur dan Gereja Barat. Hal yang sama juga terjadi pada agama Budha. Agama
Budha terpecah kedalam dua mazhab besar, yaitu Hinayana (perahu kecil) dan
Mahayana (perahu besar), kedua aliran tersebut memiliki arti yang berbeda. Aliran
Hinayana menyatakan bahwa dirinya adalah Jalan para sesepuh, dan pada dasarnya
memandang manusia sebagai pribadi, yang persamaan haknya tidak bergantung
kepada penyelamatan orang lain, sedangkan aliran Mahayana menyatakan dirinya
sebagai pemelihara semangat Budha yang asli, berdiri lurus pada garis Ilhamnya,
dan berpendirian sebaliknya, oleh karena kehidupan itu satu, nasib seseorang
berkaitan dengan nasib manusia seluruhnya. Kaum Mahayan bersifat liberal dalam
segala hal. berdasarkan sejarah simgkat diatas, aliran Theravada bersatu dalam
suatu trdisi tunggal yang utuh. Sebaliknya, Mahayana terus-menerus pecah. Hal
ini disebabkan oleh luasnya daerah penyebarannya, perpecahan itu juga
mungkin disebabkan oleh sikap liberal agama tersebut terhadap berbagai
perbedaan dalam lingkungannya. Mazhab Mahayana ini berkembang menjadi tujuh
aliran terbesar, yaitu: aliran San-lun, aliran Wei-shih, aliran Tien-tai,
aliran Hua-yen, aliran Chan, aliran Ching-tu, dan aliran Cheng-yen[4]. Dan
dalam buku Huston Smith aliran perahu besar terpecah dalam lima paham.
Yang satu menekankan iman, yang lainnya mengutamakan studi, yang berikutnya
menyandarkan diri pada rumus-rumus yang jitu, sedangkan yang keempat mempunyai
kecendrungan setengah poitik. Kita akan melewati keempat paham ini dan akan
menelaah aliran intuitif Mahayana yang terdapat dalam bentuknya paling hidup
dalam agama Budha aliran Zen di Jepang. Kata Zen adalah logat Jepang dari perkataan
Cina Cha’an, yang merupakan terjemahaan lebih lanjut dari perkataan sansekerta dhayana yang
berarti meditasi (semadi) yang menghasilkan wawasan yang mendalam. Seperti
penganut Mahayana lainnya, pengikut aliran zen Budhisme ini mengatakan bahwa,
paham mereka bersumber langsung dari Gautama sendiri. Ajaran beliau yang
tercantum dalam kitab Hukum agama berbahasa Pali adalah ajaran yang di
ikuti banyak orang. Namun para pengikut Budha yang mempunyai pandangan yang
lebih luas, memperoleh dari gurunya sudut pandang yang lebih tinggi,
contoh yang paling tua dari hal ini di temukan dalam “ Khotbah Sekuntum Bunga”
Sang Budha. Sewaktu berdiri di puncak sebuah bukit yang dikelilingi oleh para
muridnya, pada kesempatan itu Sang Budha tidak menggunakan kata-kata. Beliau
hanya memegang tinggi-tinggi sekuntum bunga teratai keemasan. Tidak
seorangpun yang memahami makna gerakan yang gamblang itu kecuali Mahakasyapa,
yang dengan senyum kecilnnya menunjukan bahwa ia memahami butir ajaran
tersebut.
Oleh karena
itu Budha pada masa hidupnya, menurut aliran chan tidak memberikan dan
membukakan ilmu tertinggi itu kepada siapapun juga kecuali ia di angkat
sebagai pengganti Budha.[5]
Menurut silsilah didalam aliran Chan Mahakasyapa merupakan First
Patriach (imam pertama), seorang murid yang yang di pandang Sang Budha
Gautama sanggup memahamkan simbol yang dipakai oleh beliau. Aliran Zen ini
merupakan pecahan dari aliran Mahayana. yang memiliki arti perahu besar, maksud
dari perahu besar adalah Aliran Chan di Tiongkok itu dikenal di India dengan
aliran Dhyana dan di jepang dikenal dengan aliran Zen. Dhyana itu bermakna:
meditasi ( Samadhi ). Chan dan Zen itu prubahan bunyi dari Dhyana, menurut
dialek Tiongkok dan dialek Jepang. Ajaran zen pertama kali dibawa ke Cina pada
awal abad ke-6, oleh seorang pendeta India yang bernama Bodhidharma (470-543).[6]
Bodhidharma adalah seorang pendeta yang mengajarkan Buddhisme lewat metode
Meditasi. Sehingga, Bodhidharma dianggap sebagai perintis ajaran Zen. Banyak
sekali cerita yang muncul mengenai Bodhidharma, salah satunya adalah ketika
Bodhidharma mencabut kelopak matanya lalu membuangnya karena merasa kelopak
mata itu selalu membuatnya tertidur ketika Meditasi Kelopak mata tersebut,
kemudian berubah menjadi pohon teh. Bodhidharma datang ke Tiongkok pada masa
dinasti Liang (502-557M), beliau mula-mula sampai di Nanking. Sebenarnya apa
yang diajarkan oleh Bodhidharma tidak menitik beratkan teori-teori, yang
penting adalah pengertian dan intuisi dari seorang siswa yang timbul dari dalam
batinnya sendiri di dalam usaha penghayatan terhadap Buddha Dharma di samping
adanya ketekunan di dalam meditasi dengan banyaknya cerita mengenai kehebatan
pendeta ini, maka banyak orang yang ingin berguru padanya. Hanya saja
Bodhidharma hanya mau menerima murid yang bersungguh-sungguh ingin mendalami
ajaran dan mengikuti jejak sang Budha. Bodhidharma menurunkan ajarannya Dhyana
kepada muridnya, Hui Khe yang menjadi sesepuh kedua aliran Cha’n di Cina.
Demikian seterusnya, hingga dikenal enam sesepuh yaitu:
Bodhidharma
Hui Khe
Shen Chie
Tao Sin
Hung Jen
Hui Neng
Setiap agama
yang telah mengembangkan bahasa yang canggih sampai taraf tertentu mengakui
bahwa kata-kata dan akal manusia tidak dapat mencapai kenyataan yang
sesungguhnya., jika bukan merusak kenyataan itu sendiri. Kekhususannya terletak
pada kenyataan bahwa aliran ini amat menyadari keterbatasan bahasa dan akal
manusia, sehingga aliran ini mencurahkan perhatian pokoknya untuk mencari cara
mengatasi keterbatasan bahasa dan akal tersebut. Hubungan Zen dengan akal ada
dua: yaitu pertama, logika dan penjelasan Zen hanya dapat dimengerti dari sudut
tinjauan pengalaman yang secara mendasar berbeda dari pengalaman kita biasa.
Dan yang kedua, para guru besar Zen bertekad kuat agar para siswanya
benar-benar memperoleh pengalaman tersebut secara langsung. Dan bukannya
digantikan oleh kata-kata. Ada tiga (3) jalan yang biasa ditempuh dalam latihan
Zen, yaitu 'Zazen' yang berarti meditasi duduk, yaitu sikap merenung yang
mendalam dengan cara diam berjam-jam dan bahkan berhari-hari. Sikap mana dilanjutkan
dengan 'Koan' yang berarti konsentrasi akan suatu masalah tertentu,
suatu masalah yang sulit yang sebenarnya tidak bisa dijawab, tetapi bisa
direnungkan.[7]
Sikap mana kemudian
dilanjutkan dengan 'Sanzen',
yaitu bimbingan mengenai soal-soal meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat
dijalankan dengan baik, seseorang akan memasuki keadaan pencerahan 'Satori',
yaitu suatu situasi santai yang baru sekali ini dirasakan, satori adalah suatu
pengalaman intuisi, pengalaman mistik bahwa ia tidak lagi berpribadi (an-atta/an-atman).
"Cara terbaik untuk merasakan Zen yang benar dan mencapai satori adalah
dengan meletakkan jasmani dalam keadaan keseimbangan sempurna, sehingga
keseimbangannya yang teratur menghilangkan keberadaannya dari batin, seperti
gigi tidak akan diperhatikan bila sehat dan seorang teman yang benar-benar
berkorban tidak pernah memperhatikan pengorbanannya. Untuk mencapai keadaan
yang seimbang ini, kita ikuti aturan hidup fisik tertentu: pertama-tama buatlah
postur yang benar, kemudian aturlah nafas dan akhirnya tenangkan batin". Aliran
Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai Mahayana-sutras,
tidak hendak mengikatkan diri kepada sutras tertentu. Begitupula terhadap
aliran filsafat didalam mazhab Mahayana. Bahkan tidak hendak memperbincangkan
secara serius. Aliran Zen itu lebih mengutamakan pendekatan secara intuitif bagi
mencapai kesadaran tertinggi.[8]
Titik berat ajarannya lebih mengutamakan disiplin, yakni ketaatan dan khidmat
yang sepenuhpenuhnya kepada sang guru, Cuma sang guru saja secara resmi dan
pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna
mencapai kepribadian-Budha. Aliran Zen berpendirian bahwa kepribadian-Budha itu
hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam semadi, maka
kepribadian Budha itu dapat dilihat. Isi kepribadian-Budha itu ialah kekosongan
( sunyata), yakni, kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan
seluruh ciri-ciri khusus itu Cuma tipuan-khayal (maya) belaka. Jalan
satu-satunya bagi mendekaati kebenaran terakhir itu ialah melalui samadhi, yang
terbagi dalam dua macam:
(1).Tathagatha-Meditation, yaitu cara
samadhi dari Budha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
(2.) Patriarchal-Meditation, yaitu cara
samadhi yang diajarkan Patriach Bodhidarma, meniadakan pemikiran dan memusatkan
kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
3. Aliran-aliran budhisme Zen
Seiring
dengan berjalannya waktu aliran Zen Budhisme inipun melahirkan beberapa aliran
Ada beberapa sekte/aliran Cha’n/Zen yang berkembang menurut metode yang berbeda
atau keadaan setempat.[9]
Diantaranya sebagai berikut: Aliran Lin Chi, dikembangkan oleh Master Lin Chi
(kira-kira 850 M) Aliran Chau Tung, dikembangkan oleh Master Tung San Liang
Chie (807-869) dan Chau San (840-901) Aliran Kuei Yang, dikembangkan oleh Kuei
San (771-853) dan Yang San (807-883) Aliran Yun Men, dikembangkan oleh Yun Men
(862-853) Aliran Fa Yen, dikembangkan oleh Fa Yen (885-958) Zen kemudian
berpecah menjadi 5 aliran, dan di kemudian, hari kelima aliran ini dilebur menjadi
dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Karena itu sampai
sekarang yang kita kenal hanyalah dua aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai yang
pada abad ke XII bermigrasi dari China ke Jepang. Aliran Soto menekankan pencapaian
pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran (kontemplasi), sedangkan
aliran Rinzai menekankan pencapaian pencerahan melalui meditasi yang diarahkan
kepada aliran tertentu.
1.
Meditasi untuk Pencerahan
Seorang
Guru Besar Zen - Hakuin - pernah pada suatu ketika ditanya : Sensei –
bagaimanakah Buddhisme yang benar itu? ' Hakuin menjawab singkat : Mata Lurus,
Hidung Tegak, Itulah Buddhisme yang Benar ! Pesan jelas dari jawaban yang
sangat lugas ini adalah bahwa Buddhisme adalah Meditasi ! Pencarian Jalan di
dalam diri untuk menemukan Pencerahan. Meditasi dan Pencerahan. Dua hal inilah
Tulang Punggung, Tonggak dari Ajaran Buddhisme Zen.
1.
Pencarian di Dalam - melepas segala
Konsep dan Kata
Meditasi
sebagai tonggak dalam ajaran Zen menuntut Pencarian di Dalam, bukan di Luar.Meditasi
Zen berarti menyatukan ' diri ' yang terbatas dengan ' Diri ' - diri yang tak
terbatas, yang berada tidak jauh - dalam diri sendiri. Ketika
seorang Bima dalam kisah Dewaruci masih mencari di luar : mencari hal-hal di
luar untuk dikalahkan - Naga di dasar Laut, Raksasa di atas Gunung, ia belum
menemukan Zen. Ketika ia telah menemukan Dewaruci yang ternyata berada dekat
sekali dengannya - di dalam tubuhnya sendiri, di telinganya dan ia mulai mendengarkan
bisikan dari Dewaruci yang merupakan replika dirinya itu - pada saat itu ia
mulai memahami Zen.[10]
Proses masuk ke Zen baru dimulai ketika seseorang mulai melepas pencarian di
luar, melepas konsep dan kata-kata. Kisah Alexander Agung dan Pertapa
India seperti ditulis Anand Krishna dalam bukunya yang berjudul Telaga
pencerahan di Tengah Gurun Kehidupan - berkisah tentang hal yang serupa.
Latarbelakang kisah ini adalah ketika Alexander Agung bermaksud meninggalkan
India, salahsatu tanah jajahannya pada waktu itu dan bermaksud pulang ke Yunani
: Setelah menaklukkan sebagian besar dunia, dalam keadaan capai dan
sakit-sakitan Alexander memutuskan kembali ke Macedonia, di negeri Yunani,
tanah leluhurnya. Dalam perjalanan pulang, ia teringat pesan seorang rohaniwan
Yunani, Kelak kalau kau pulang, Alexander, ajaklah seorang rohaniwan India. Kita
dapat belajar banyak darinya. Alexander pernah mendengar tentang seorang
rohaniwan, seorang sanyasin - seorang pertapa yang tinggal di tengah hutan.
Kebetulan ia akan melewati hutan itu. Ia mencari alamat sang sanyasin. Berteduh
di bawah pohon beringin yang lebat, dari jauh ia melihat sang sanyasin dalam
keadaan telanjang bulat. ( kebiasaan pertapa India waktu itu - catatan penulis
). Alexander mengutus seorang prajurit untuk memberitahu tentang keberadaannya,
dan minta agar sang sanyasin mau datang menemuinya. Katakan pada Alexander
bahwa aku tidak perlu kemana mana. Aku tidak membutuhkan apa pun. Apabila ia
ingin bertemu denganku, silahkan ke sini. Tapi aku tidak akan kemana mana. Alexander
bingung, kesal dan marah. Baru pertama kali ini ada orang yang begitu berani kurang-ajar
kepadanya. Tetapi ia menahan diri. Ia pernah mendengar bahwa para sanyasin,
para pertapa memang agak aneh, kalau bukannya sinting. Alexander mendatangi
sang sanyasin. Sanyasin - aku Alexander, Alexander yang Agung. Sang Sanyasin
tersenyum, Yang Agung ? Aku dengar engkau meninggalkan tanah leluhurmu untuk
menaklukkan dunia. Benar, itulah aku, Alexander yang Agung ! memang agak
arogan, tapi memang demikianlah seorang Alexander. Sang Sanyasin mengangkat
sedikit kepalanya, Katakan, Alexander, kamu memang Agung sejak dulu, atau
menjadi Agung karena berhasil menaklukkan sebagian besar dunia ini ? Apa
maksudmu, Sanyasin ? Alexander tidak memahami persis apa yang dimaksud oleh
sanyasin. Begini, Alexander, kalau kau Agung sejak dulu, kau tidak akan
bersusah-payah keliling dunia untuk menaklukkannya. Kalau memang begitu,
berarti kau dulu tidak Agung. Dulu masih kekurangan sehingga kau keliling dunia
untuk mengisi kekuranganmu itu. Kau menjadi Agung karena berhasil menaklukkan
sebagian dunia. Bayangkan, Alexander, jikalau ada yang lebih berhasil dari mu,
keagungan itu akan hilang juga. Nah, kau memang agung sejak dulu atau baru jadi
Agung karena berhasil menaklukkan sebagian dunia ? Alexander menganggap pertanyaan
itu sebagai sindiran. Dengarkan, Sanyasin, tidak pernah ada yang berani
berbicara seperti itu kepadaku. Aku masih menghormatimu. Aku datang ke sini
untuk mengundangmu, mengajak kamu ke Yunani, ke negara ku yang subur,
sejahtera, damai. Segala kebutuhanmu akan kupenuhi. Sayang, Alexander, kau
terlambat puluhan tahun. Sekarang aku tidak membutuhkan sesuatu apa pun.Aku
juga tidak perlu pergi kemana pun - jawab sang Sanyasin. Sanyasin, mungkin kau
tidak tahu bahwa penolakanmu dapat berakibat fatal. Aku tidak akan segan-segan
membunuhmu. Sadarkah bahwa engkau menolak seorang Alexander ? rupanya Alexander
benar-benar marah. Aku sadar, aku sedang menolak seorang pengemis - seorang
yang tidak puas, tidak pernah merasa puas dan tidak merasa cukup dengan apa
yang ia miliki sehingga ia harus menaklukkan dunia ini. Sadarkah kamu
,Alexander, bahwa keinginanmu untuk menaklukkan dunia ini timbul karena kamu
tidak puas, tidak pernah puas dengan apa yang kamu miliki ? Kau kosong, hampa !
Dan kau ingin mengisi kekosongan dirimu, kehampaan jiwamu, dengan gelar Yang
Dipertuan Agung. Kau ingin mengisi kehampaan batinmu dengan
kemenangan-kemenangan yang tidak berarti - suara sanyasin pelan, datar, tetapi
jelas. Kata-kata itu telak menusuk jiwa Alexander. Dan tentang ancamanmu
Alexander - ketahuilah bahwa untuk itu pun kamu telah terlambat puluhan tahun.
Yang dapat mati telah lama mati. Badan ini, ada atau tidak - sudah tidak
menjadi persoalan lagi. Aku tidak pernah mati. Kembalilah, Alexander -
pulanglah ke Yunani dan renungkanlah kata-kataku ini - kata sang Sanyasin menasihati.
Alexander yang Agung menangis, mencucurkan airmata seperti seorang anak kecil.
Sang Sanyasin memeluknya. Tenanglah, anakku, tenang. Berdamailah dengan dirimu,
dalam jiwamu. Segala sesuatu yang kau cari itu berada dalam dirimu sendiri.
Keagungan tidak datang dari luar. Keagungan berasal dari dalam dirimu sendiri.
Kenalilah dirimu - temukan dirimu dan kau tidak akan membutuhkan sesuatu apa
pun lagi dari luar.[11]
2. Pengalaman
Langsung
Zen
menuntut pengalaman langsung - bukan hasil pemikiran teori atau hasil
menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya iman yang dituntut dari seorang
praktisi Zen adalah keyakinannya pada pencerahan Siddharta ! Meditasi harus
dijalani dengan tubuh ini bukan dengan pikiran atau yang lain. Seorang Master
Zen pernah mengatakan : Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah -
seseorang dengan ketekunan akan menemukan Buddha !
3. Laku - bukan
Filsafat !
Zen
adalah Laku , bukan Filsafat ! Anand Krishna dalam bukunya : Zen untuk Orang Modern
- menggambarkannya dengan sangat jelas - Zen bukanlah Filsafat Ia adalah
Falsafah , sebuah Laku Hidup. Filsafat melahirkan Konsep Falsafah membebaskan
diri dari Konsep. Filsafat menyibukkan pikiran Falsafah mengistirahatkan pikiran.
Filsafat mengikat. Falsafah membebaskan. Akan tetapi - masalahnya adalah - bila
Laku Zen ini pun kita jadikan konsep untuk dibicarakan, didiskusikan, diperdebatkan
- ia akan kembali menjadi filsafat. Kembali ke Zen : Zen adalah Za - Zen. Duduk
Diam. Punggung Lurus. Buka mata hati. Masuk ke dalam diri - M e d i t a s i !
4. Kesadaran
Hishiryo - Menjadi Sederhana
Taisen
Deshimaru berbicara tentang apa yang dalam bahasa Jepang disebut Hishiryo -
Kesadaran Hishiryo. Kesadaran Hishiryo adalah kesadaran akan kesederhanaan
hidup. Satu hal yang menyebabkan mengapa Zen amat sulit bagi kebanyakan orang
adalah karena Zen menuntut kita untuk menjadi sederhana. Dunia modern dengan
segala corak kehidupan masyarakatnya yang khusus, pendidikan modern yang selalu
menuntut kita untuk berpikir hitam putih dan menganalisa segala sesuatu - telah
menyebabkan kita secara tanpa sadar menjadi rumit , menjadi kompleks. Kesadaran
Hishiryo bukanlah sesuatu yang misterius atau esoterik. Kesadaran Hishiryo
adalah kesadaran yang seharusnya demikian dalam memandang suatu kehidupan.
Suatu kesadaran yang seharusnya normal-normal dan biasa saja. Masalahnya adalah
bahwa apa yang seharusnya biasa telah menjadi tidak biasa bagi sebagian besar
manusia karena pikiran kita yang telah dipenuhi oleh konsep-konsep, analisa
pemikiran dlsbnya. Kesadaran Hishiryo ini akan mengarahkan kita untuk mencari
harmoni dengan apa yang ada di sekitar kita : alam , manusia dan makhluk lain -
dan terutama juga dengan ' diri ' kita sendiri. Kesadaran ini akan membebaskan
kita dari segala sesuatu yang hanya mengacu pada ' aku ' , pada ' diriku ' -
tetapi akan membawa kita ke suatu wawasan yang jauh lebih luas - yang pada
akhirnya dengan ketekunan akan mengantar kita pada tingkat kesadaran tertinggi
: Kesadaran Murni, Kesadaran Kosmis, Kesadaran No - Mind , Shunyata -
Pencerahan Total.[12]
5.
Jalan Tengah
Zen
mengajar kita untuk tidak menjadi ekstrim dalam hal apa pun.Latihan Zen yang
keras dengan laku disiplin yang tinggi bukanlah untuk mengarahkan kita menjadi
keras. Sebaliknya - latihan ini dimaksudkan agar kita dapat mencapai suatu
kondisi mental yang teguh, tidak mudah goyah dan tidak mudah terjebak ke satu
ekstrim - dari ekstrim yang satu ke ekstrim yang lain.Agar kita dapat selalu
berada dalam kesadaran mental yang seimbang - menjalani hidup yang tak
tergoyahkan oleh hedonisme atau pun pelarian dari dunia.
Ada orang yang terus hidup sangat duniawi - ada yang lain yang seolah melarikan diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
Ada orang yang terus hidup sangat duniawi - ada yang lain yang seolah melarikan diri dari dunia dan mungkin dengan demikian mengira bahwa ia telah hidup di rancah spiritual. Zen mengajar kita untuk tidak terjebak dalam pemikiran dualisme hitam putih. Bagaimana pun kita hidup di dunia dan sampai tahap tertentu harus menjalani kehidupan dunia. Tetapi segi spiritual, segi bathin - amatlah penting untuk peningkatan evolusi jiwa manusia dan kita tidak boleh terjebak dalam maya - ilusi dunia. Dualisme adalah produk dari pikiran - Zen berupaya untuk mengembalikan kita pada hakikat kesatuan dari segala sesuatu dan men-sintesa-kan keseluruhan dari kita ke suatu kondisi yang seimbang.
6.
Pengantar untuk pokok-pokok ajaran
berikut :
Buddhisme
Zen menurut Prof Dr. Suzuki adalah bagaikan sebuah organisme yang hidup.
Organisme yang hidup tumbuh dan berkembang. Benih Buddhisme berasal dari India
- diturunkan oleh Siddharta, sang Buddha - kepada Mahakasyapa. Benih ini
kemudian tumbuh dan berkembang. Seribu tahun kemudian dengan kedatangan
Bodhidharma di Tiongkok, benih Buddhisme ini mencapai Tiongkok dan di sana
bertemu dengan sebuah lapangan pergulatan baru. Buddhisme Zen ( yang di
Tiongkok disebut Chan ) bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme. Terjadilah
tatap muka, pergulatan. Beberapa aspek ajaran Taoisme dan Konfusianisme terserap
masuk. Buddhisme Zen muncul dengan wajah baru - ia menjadi lebih lengkap.
Ajaran Taoisme yang mengutamakan harmoni dengan alam semesta memperindah wajah
Buddhisme yang sedang tumbuh ini. Ajaran Konfusianisme yang mengutamakan
pragmatisme dalam memandang hidup menambah warna. Tekanan dalam ajaran
Buddhisme Zen agar hidup dalam ke-kini-an , saat ini - memperoleh penguatan
dari ajaran Konfusius. Tetapi - inti dari Zen tetaplah Buddhistis. Inti Zen
adalah semata-mata ajaran Inti Siddharta - sang Buddha. Meditasi dan
Pencerahan. Tanpa keduanya - tonggak Zen runtuh. Tidak ada lagi Zen. Praktisi
Zen sangat mengetahui hal itu. Sementara berkembang pendapat-pendapat ekstrim
dari mereka yang kurang memahami. Ada yang mengatakan bahwa Zen tidak lain
merupakan suatu perkawinan , suatu sintesa antara Buddhisme dan Taoisme -
antara India dan Tiongkok. Ada ahli lain seperti Prof. Fung Yu Lan yang justru
mengatakan bahwa Zen tidak lain adalah Konfusianisme dalam perkembangan lanjut
- yaitu apa yang dia katakan sebagai Neo- Konfusianisme. Demikian pula halnya
dengan Prof. A.K. Coomaraswamy yang menulis bahwa Zen adalah satu bentuk
Buddhisme yang tercemar - suatu pendapat yang sangat bias dan amat sangat
tergesa-gesa. Saya pikir pendapat-pendapat tersebut muncul dari pengamat yang
hanya melihat dari luar saja. Seorang praktisi Zen akan sangat mengerti bahwa
apa yang dilakukan dalam latihan adalah Inti dari ajaran Buddha itu sendiri -
bukan yang lain. Meditasi untuk Pencerahan - Itulah Zen ! Inilah ajaran Buddha
- inti ajaran yang diturunkan pada Mahakasyapa. Jalan Zen adalah Jalan Buddha. Karenanya
- sangat bagus penggambaran dari Anand Krishna yang mengatakan bahwa Zen adalah
Buddhisme yang benihnya berasal dari India, benih itu kemudian tumbuh dan
berbunga di Tiongkok ( ketika bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme dan
menyerap beberapa aspek ajaran-nya ) dan kemudian berbuah di Jepang - ketika
cara hidup khas Jepang yang sangat kreatif mengubah dan memperindah Zen sampai
pada bentuk yang kita kenal sekarang ini. Di Jepang - lah Zen kemudian
melatarbelakangi filosofi arsitektur Taman dan Ruang, seni merangkai bunga
Ikebana, seni drama Noh, upacara minum teh Cha No Yu, permainan pedang para
pendekar Samurai Jepang dan Ilmu Bela Diri. Yang disebut terakhir ini
sebenarnya telah mulai di Tiongkok ketika Bodhidharma mendirikan biara Shaolin
di Lo Yang - Tiongkok. Atau ibarat sosok yang berpakaian dan berhias - sosok
tubuh Zen adalah Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme menjadi ibarat pakaian
dan perhiasan yang dikenakannya.
7.Mushotoku - Berhenti
Mengejar
Melakukan
apa yang harus dilakukan. Tanpa Pamrih. Tanpa terlebih dulu memikirkan hasil
atau keuntungan. Menjalankan sesuatu sebagai suatu Dharma - sesuatu yang memang
telah menjadi suatu hal yang harus dilakukan.
8. Sekarang, Di Sini, Saat Ini
Inilah pragmatisme yang harus dilakukan dalam
memandang kehidupan. Yang paling nyata adalah sekarang yang terus berubah.
Kehidupan harus dijalani pada kenyataannya yang paling riel, paling nyata -
yaitu saat ini. Masa lalu tak akan kembali, masa depan belum nyata. Di sini Zen
bertemu dengan Konfusius. Konfusius selalu menekankan pada sekarang. Konfusius
mementingkan apa yang nyata terlihat - apa yang ada dihadapan kita. Sangat
membumi.
9. Wu - Wei
Istilah ini susah diartikan dan bahkan sangat sering
salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal dari Taoisme. Sering
diterjemahkan sebagai : Tidak berbuat - atau dalam Bahasa Inggris sering
diterjemahkan sebagai ' Action in No Action ' - sebuah terjemahan yang mungkin
artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti sesungguhnya dari wu-wei
mungkin adalah : Kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan apa yang alami. Let nature takes care of itself - Biarkan
yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi.
Biarkan Hukum Alam bekerja. Harmoni dengan alam.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Smith, Huston .Agama-agama Manusia.jakarta.Yayasan Obor
Indonesia.2001
Sekkei , Harada. Hakikat
Zen.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama.2003
Low, Albert. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz
Media.2000
Sou’yb, Joesef. Agama-agama Besar di
Dunia. Jakarta.Pt Al Husna ZIkra.1996
http://tamandharma.com
[1] Huston,
Smith. Agama-agama Manusia.jakarta.Yayasan
Obor Indonesia.2001.hal,156
[2] Joesoef
Sou’yb.Agama-agama Besar di Dunia.Jakarta.Pt Al Husna ZIkra.1996.hal,112
[3] Huston
Smith.Agama-agama Manusia. jakarta. Yayasan
Obor Indonesia. 2001. hal,165
[4] Albert
Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz
Media.2000. hal. 56
[5] Sekkei,
Harada.Hakikat Zen. Jakarta.Gramedia
Pustaka Utama.2003. hal,72
[6] Joesoef
Sou’yb. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta.Pt
Al Husna ZIkra.1996.hal,128
[7] Albert
Low. Zen and The Sutra. Jogjakarta.Ar-ruzz
Media.2000. hal, 98
[8] http://tamandharma.com
[9] http://tamandharma.com
[10] http://tamandharma.com
[11] http://tamandharma.com
[12] http://tamandharma.com
[13] http://tamandharma.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar